Trenggalek,kanaltujuh.com
Rencana pemerintah Kabupaten Trenggalek yang akan membuat Patung di tahun 2026 menuai kritik dari berbagai kalangan. Bila sebelumnya kritik disampaikan oleh Sekretaris Komisi III DPRD Trenggalek Adip Fatoni kemudian pengamat Sugeng Widodo, kini giliran Ketua Komisi I DPRD Trenggalek Moch. Husni Taher Hamid angkat bicara.
“Fenomena Pemda yang gemar membangun Patung monumen atau Landmark artistik ditengah keterbatasan fiskal dan kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi memang patut dikritisi secara multidimensi,” kata Husni dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/11/2025).
Husni menyampaikan kritik secara multidimensi mulai dari sisi Teologis, Sosiologis, Ekonomi dan Politik Kebijakan. Dalam dimensi Teologis dan nilai pandangan Islam hal itu tertuang dalam QS Al-Anbiya (21): 52-58.
“Pembuatan Patung tidak dilarang secara mutlak, tetapi tujuan dan maknanya harus dijaga,” terangnya.
Politisi dari Hanura ini kemudian menuliskan jika Patung menjadi simbol kemegahan atau kultus kekuasaan maka ia tergolong padan tamasil kesombongan serta merepresentasikan ego manusia yang menandingi nilai ketuhanan.
“Seni boleh tapi ketika seni menjadi legitimasi politik atau simbol kekuasaan, ia berubah menjadi bentuk penyimpangan moral dan spiritual,”tulisnya.
Argumen bahwa pembangunan Patung adalah bagian dari revitalisasi seni, budaya dan pariwisata lokal menurutnya secara teori, argumentasi ini masuk dalam kategori cultural policy atau kebijakan budaya.
“Namun jika kita telaah dalam kerangka publik choice theory dan value for money muncul sejumlah masalah mendasar,” ulasnya.
Menurutnya keterbatasan fiskal daerah dengan kapasitas rendah utamanya dari sisi PAD ditambah lagi ketergantungan yang tinggi pada dana transfer pemerintah pusat maka Pemkab Trenggalek semestinya menerapkan prinsip prudence, mendahulukan sektor priroritas pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar dan penurunan kemiskinan.
“Membangun Patung bernilai ratusan juta rupiah ditengah jalan rusak atau petani kekeringan, jelas menunjukkan ketidakseimbangan moral anggaran,” tulisnya.
Husni menuliskan Opportunity Cost setiap rupiah yang dialokasikan untuk proyek simbolik berarti ada peluang yang hilang bagi pelayanan dasar publik.
“Inilah yang disebut loss of social utility atau pengeluaran yang tidak menambah kesejahteraan langsung tetapi hanya citra atau kebanggaan estetis,”
Argumen kreatifitas dan pariwisata sering dijadikan pembenaran tetapi tidak pernah berbasis data (berapa banyak wisatawan bertambah dan berapa nilai tambah ekonomi lokal).
“Tanpa impact evalution kebijakan seni hanya menjadi politik berbaju seni budaya,”urainya.
