Di Balik Kudeta Presiden Guinea, Digulingkan Usai Merevisi Konstitusi Untuk 3 Periode Jabatan

Letnan Kolonel Doumbouya, pimpinan perwira militer yang melakukan kudeta terhadap Presiden Guinea/Foto: AFP
Letnan Kolonel Doumbouya, pimpinan perwira militer yang melakukan kudeta terhadap Presiden Guinea/Foto: AFP

Jakarta, Kanaltujuh.com –

Unit tentara Guinea menguasai negara itu hari Minggu (5/9) dan mengummumkan bahwa mereka telah melakukan kudeta terhadap Presiden Guinea, Alpha Conde.

Iklan

Aksi kudeta tersebut didasari karena kemiskinan dan korupsi yang terus-menerus melanda di Guinea. 

Pada awalnya, usai Alpha Conde memenangi pemilu pertama tahun 2010 lalu, ia diharapkan akan menciptakan kestabilan di Guinea, di mana korupsi telah merajalela selama puluhan tahun.

Pemilu tahun 2010 itu merupakan pemilu demokratis pertama di negara itu sejak merdeka dari Perancis tahun 1958.

Tetapi para kritikus mengatakan kepemimpinan Presiden Conde justru memperburuk kemiskinan. Hal itu terlihat dari pengelolaan cadangan tambang mineral yang tak kunjung mendatangkan kesejahteraan rakyat.

Ketegangan memuncak tahun lalu ketika presiden berusia 83 tahun itu mengubah konstitusi untuk memungkinkan dirinya mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan ketiga.

Conde berhasil memenangi pemilu, namun aksi demonstrasi yang tak jarang berakhir dengan aksi kekerasan meluas di seluruh Guinea.

David Zoumenou, konsultan peneliti senior di Institute of Security Studies di Dakar dan Pretoria menyampaikan,

“Perubahan konstitusi itu benar-benar menciptakan ketegangan yang sangat buruk.”

“Ada organisasi masyarakat madani, ada kekuatan politik lain yang menentang keputusannya dan menentang pemilu. Tetapi militer berada di belakang presiden dan mampu memadamkan tuntutan rakyat.”

“Semua hal itu memicu terjadinya ketidakstabilan politik yang mengarah pada apa yang kita lihat di Guinea sekarang ini,” jelasnya dikutip dari VOA Indonesia.

Pada hari Minggu (5/9) muncul para pembelot Presiden Guiena dari kalangan militer yang semula mendukungnya namun berubah mengkritik tindakan presiden itu, dan mengatakan mereka akan mengambil tindakan sendiri.

Mereka mengatakan akan memberlakukan jam malam dan menutup pintu perbatasan.

Meskipun banyak warga tampak merayakan kudeta itu, beberapa tokoh-termasuk pemimpin Amerika, Perancis dan Sekjen PBB Antonio Guterres mengutuk perebutan kekuasan tersebut.

Peristiwa itu membuat analis politik menjadi khawatir terhadap skala dan intensitas yang lebih besar, karena dalam beberapa tahun terakhir ini negara-negara di seluruh Afrika Barat melihat adanya lonjakan keinginan untuk melanjutkan kekuasaan hingga masa jabatan ketiga yang tidak konstitusional, dan meningkatnya kudeta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *