Opini, kanaltujuh.com
UU Narkotika diketahui menganut sistem pemidanaan yang kaku, memberlakukan ancaman pidana minimum khusus yang imperatif (memaksa) bagi delik-delik selain penyalahgunaan, seperti kepemilikan (Pasal 111, 112) atau peredaran (Pasal 114). Sebagai contoh, Pasal 112 ayat (1) mengatur pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun bagi pemilik Narkotika Golongan I.
Problematika muncul ketika fakta hukum yang terungkap di persidangan secara terang-benderang menunjukkan bahwa terdakwa, meskipun didakwa atas kepemilikan (Pasal 112 UU Narkotika), sesungguhnya adalah seorang penyalahguna atau pecandu yang barang buktinya minim dan hanya untuk konsumsi pribadi. Idealnya, perbuatan tersebut seharusnya dijerat dengan Pasal 127 UU Narkotika, yang lebih mengedepankan rehabilitasi daripada pemenjaraan. Namun, dalam banyak kasus, Penuntut Umum tidak mencantumkan Pasal 127 UU Narkotika dalam surat dakwaannya.
Hakim pun berada dalam posisi sulit: Di satu sisi, hakim terikat pada surat dakwaan (Pasal 182 ayat (2) KUHAP) dan asas legalitas formal (lex scripta); di sisi lain, hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman) serta menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan substantif. Untuk menjembatani jurang antara keadilan formal (dakwaan) dan keadilan substantif (fakta persidangan), Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan serangkaian Surat Edaran (SEMA) sebagai pedoman bagi hakim.
Secara hierarkis, SEMA berada di luar tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. SEMA adalah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau pedoman internal yang ditujukan kepada aparat pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga konsistensi putusan, mengisi kekosongan hukum, atau memberikan arahan teknis peradilan.
SEMA berfungsi sebagai instrumen rechtsvinding (penemuan hukum) oleh hakim. Ketika undang-undang (dalam hal ini UU Narkotika) dirasa kaku dan penerapannya secara rigid akan mencederai rasa keadilan, SEMA hadir sebagai koridor yang dilegitimasi oleh MA bagi hakim untuk melakukan penyesuaian.
Terdapat beberapa SEMA, antara lain:
*SEMA No. 4 Tahun 2010: Memberikan batasan kuantitas barang bukti (misalnya, 1 gram untuk sabu) sebagai kriteria seorang terdakwa dapat dikategorikan sebagai penyalahguna untuk kepentingan rehabilitasi.
*SEMA No. 3 Tahun 2015: Menegaskan bahwa jika dakwaan adalah Pasal 111 dan 112 UU Narkotika, namun fakta persidangan membuktikan terdakwa adalah penyalahguna (dengan kriteria SEMA 4/2010), hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai dakwaan tetapi menyimpangi pidana minimum khusus dengan pertimbangan yang cukup.
*SEMA No. 1 Tahun 2017: Memperjelas bahwa meskipun Pasal 127 UU Narkotika tidak didakwakan, jika fakta (tes urine positif, barang bukti kecil) membuktikan terdakwa adalah penyalahguna, hakim dapat mengkategorikan perbuatan itu sebagai penyalahgunaan, meskipun kualifikasi tindak pidana dalam amar putusan tetap mengacu pada surat dakwaan.
*SEMA No. 3 Tahun 2023: Mengafirmasi kembali penerapan SEMA-SEMA sebelumnya, bahkan untuk dakwaan Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika.
Mekanisme yang diatur SEMA ini adalah sebuah terobosan kepada Hakim yang tetap menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal dalam dakwaan (misal, Pasal 112), namun dalam ukuran penjatuhan pemidanaan, hakim menjatuhkan vonis di bawah ancaman minimum 4 tahun, seringkali disesuaikan dengan ancaman pidana Pasal 127 (misalnya, rehabilitasi atau pidana penjara singkat).
Penerapan SEMA untuk menyimpangi pidana minimum yang diatur oleh Undang-Undang Narkotika tidak terlepas dari kontroversi yuridis. Secara doktrinal, praktik ini problematis. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) menjadi kabur. SEMA, yang merupakan produk administratif internal MA, digunakan untuk menerobos ketentuan imperatif dalam UU, yang merupakan produk legislatif bersama DPR dan Presiden.
Kritik utama terhadap praktik ini adalah bahwa hal tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Jika hakim dapat dengan mudah menyimpangi ancaman pidana minimum yang telah ditetapkan secara jelas oleh legislator, maka esensi dari pidana minimum itu sendiri, yakni sebagai batas bawah efek jera menjadi hilang. Ini dapat dianggap sebagai bentuk pembangkangan yudisial terhadap kehendak legislatif.
Namun, dari perspektif keadilan substantif dan kemanfaatan (doelmatigheid), praktik ini sangat dapat dibenarkan. Pertama, SEMA ini adalah respons pragmatis MA terhadap realitas penuntutan. Seringkali Penuntut Umum menggunakan dakwaan Pasal 111/112/114 UU Narkotika sebagai pasal sapu jagat tanpa melihat esensi perbuatan terdakwa, yaitu sebagai korban penyalahgunaan. Jika hakim dipaksa memvonis 4 tahun penjara seorang pecandu yang memiliki 0,1 gram sabu untuk dipakai sendiri, maka hakim telah gagal menegakkan keadilan dan justru berkontribusi pada masalah overcapacity di lembaga pemasyarakatan.
Kedua, praktik ini sejatinya selaras dengan jiwa dan semangat UU Narkotika itu sendiri, yang mengakui adanya konsep double track system (pidana penjara dan/atau rehabilitasi). Pasal 54, Pasal 103, dan Pasal 127 UU Narkotika secara jelas mengamanatkan rehabilitasi bagi penyalahguna. SEMA ini secara yudisial untuk mengembalikan terdakwa ke “jalur” rehabilitasi yang semestinya, ketika jalur tersebut ditutup oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.
Ketiga, SEMA tidak menghapus kualifikasi tindak pidana. Sebagaimana dijelaskan SEMA No. 1 Tahun 2017, kualifikasi tindak pidana dalam amar putusan tetap sesuai dakwaan (misal, “memiliki” Narkotika). Yang disimpangi hanyalah strafmaat (ukuran pidana)-nya. Ini adalah jalan tengah di mana hakim tetap menghormati dakwaan penuntut (aspek formal) namun menjatuhkan pidana sesuai fakta dan rasa keadilan (aspek substantif).
KESIMPULAN
SEMA sebagai dasar bagi hakim untuk menyimpangi pidana minimum khusus dalam perkara narkotika, meskipun secara hierarki peraturan perundang-undangan tampak problematis, hal ini merupakan sebuah langkah yudisial yang tepat, perlu, dan dapat dibenarkan (justifiable) demi mencapai keadilan substantif.
Praktik ini bukanlah pembangkangan terhadap hukum, melainkan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang progresif untuk mengatasi kekakuan undang-undang (rigidity of law) dan kelemahan dalam sistem penuntutan. Hakim, sebagai la bouche de la loi (corong undang-undang), tidak boleh menjadi robot yang hanya menerapkan pasal secara mekanistis. Hakim memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kontroversial undang-undang di mana penerapan hukum secara kaku justru menghasilkan ketidakadilan.
SEMA (khususnya SEMA No. 4/2010, SEMA No. 3/2015, dan SEMA No. 1/2017) telah memberikan pedoman yang terukur dan akuntabel bagi hakim dalam menggunakan kewenangannya, sehingga penyimpangan tersebut tidak dilakukan secara serampangan.
Solusi ideal ke depan adalah merevisi UU Narkotika untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi hakim dalam sentencing, atau perbaikan dalam kebijakan penuntutan oleh Kejaksaan agar UU Narkotika lebih proporsional diterapkan. Namun, selama kekosongan dan kekakuan itu masih ada, SEMA tetap menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa putusan pengadilan itu adil.
