Dalam perjalanan kehidupan manusia, sering kali ditemukan momen-momen ketika seseorang dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup dan arah yang hendak dituju. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang penuh dengan distraksi dan tantangan, muncul kebutuhan mendesak untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental yang menuntun setiap langkah manusia menuju kebahagiaan sejati. Di sinilah dakwah memainkan peran sentral, bukan hanya sebagai aktivitas seremonial atau ritualistik, tetapi sebagai sebuah upaya untuk menyentuh akal, hati, dan jiwa manusia.
Mendahulukan dakwah pemikiran menjadi esensi dalam memahami fiqih prioritas. Pemikiran yang matang adalah fondasi bagi segala tindakan. Tanpa pemahaman yang benar, amal perbuatan manusia dapat terombang-ambing dalam ketidakjelasan arah. Rasulullah SAW sendiri mengawali perjuangannya dengan membangun pemahaman tauhid yang kokoh dalam benak para sahabat. Beliau mengajak mereka berpikir, merenung, dan memaknai kehidupan berdasarkan wahyu Ilahi. Maka, dakwah pemikiran bukan hanya sekadar menghafal dalil atau melafalkan ayat-ayat suci, tetapi juga melibatkan proses berpikir kritis, refleksi mendalam, dan penggalian makna yang relevan dengan konteks kehidupan.
Dalam konteks dakwah pemikiran, Islam hadir sebagai agama yang mengajak manusia untuk menggunakan akalnya. Al-Qur’an berkali-kali menantang manusia untuk berpikir, memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, dan merenungkan kebijaksanaan di balik penciptaan. Misalnya, dalam Surah Al-Ghashiyah, Allah bertanya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?” Pertanyaan ini mengajak manusia untuk tidak hanya melihat, tetapi juga memahami dan mengambil pelajaran dari fenomena di sekitar mereka. Namun, dakwah pemikiran tidak berarti mengesampingkan aspek spiritual atau emosional dalam berdakwah. Sebaliknya, ia melengkapi keduanya. Pemikiran yang benar akan membawa hati kepada keyakinan yang tulus, sedangkan hati yang tergerak akan memotivasi tubuh untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, dakwah pemikiran menjadi jembatan antara akal dan hati, antara ilmu dan amal.
Masyarakat modern, dengan segala kompleksitasnya, membutuhkan pendekatan dakwah yang relevan dan sesuai dengan realitas mereka. Tantangan seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme nilai menuntut seorang da’i untuk memiliki kemampuan analisis yang tajam dan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan kontemporer. Dakwah pemikiran memberikan alat bagi seorang da’i untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang sering kali muncul di benak masyarakat. Mengapa kita harus beriman kepada Allah? Apa relevansi syariat Islam dalam kehidupan modern? Bagaimana Islam menjawab persoalan-persoalan global seperti ketidakadilan sosial, perubahan iklim, dan krisis identitas budaya?
Selain itu, mendahulukan dakwah pemikiran juga mengajarkan pentingnya dialog dan keterbukaan. Seorang da’i yang memahami prioritas ini tidak akan mudah menghakimi atau memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia akan mengedepankan diskusi yang sehat, menghormati perbedaan, dan mencari titik temu yang dapat menjadi dasar untuk membangun pemahaman bersama. Dakwah semacam ini tidak hanya efektif, tetapi juga mencerminkan rahmatan lil ‘alamin yang menjadi inti dari ajaran Islam. Akhirnya, mendahulukan dakwah pemikiran adalah tentang menciptakan transformasi yang berkelanjutan. Pemikiran yang benar akan melahirkan keyakinan yang kokoh, dan keyakinan yang kokoh akan memotivasi tindakan yang penuh berkah. Dalam fiqih prioritas, ini adalah langkah awal yang harus didahulukan sebelum melangkah kepada aspek-aspek lain dalam kehidupan. Dengan mendahulukan dakwah pemikiran, seorang Muslim tidak hanya berkontribusi pada perubahan individu, tetapi juga pada perubahan masyarakat menuju arah yang lebih baik, lebih adil, dan lebih beradab.
Rahmat Satya Budiman, Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok