Menjaga Nilai Agama di Era Kreativitas dan Digitalisasi

Foto : Rahmat Satya Budiman Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok
Foto : Rahmat Satya Budiman Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok

Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian masyarakat terhadap fatwa yang melarang penggunaan nama haram pada produk makanan semakin meningkat. Fatwa ini, yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga otoritatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), bertujuan untuk menjaga kesucian nilai-nilai agama dan memastikan produk yang beredar di masyarakat tidak mengandung unsur-unsur yang meresahkan. Namun, di era modern ini, pelaksanaan fatwa semacam itu menuai berbagai respons, mulai dari dukungan penuh hingga kritik tajam. Artikel ini akan membahas pentingnya fatwa tersebut sekaligus mengeksplorasi tantangan yang dihadapinya dalam konteks kekinian.

Iklan

Pelarangan penggunaan nama haram pada produk makanan didasari oleh prinsip dasar dalam syariat Islam bahwa segala sesuatu yang dikonsumsi harus halal dan thayyib (baik). Nama yang mengandung unsur haram, seperti istilah yang merujuk pada minuman keras, hewan yang tidak halal, atau hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam, dianggap dapat menciptakan persepsi negatif di masyarakat. Contohnya, penggunaan nama “Anggur Setan” untuk minuman jus non-alkohol atau “Bakso Babi” untuk bakso yang sebenarnya menggunakan daging sapi, dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan konsumen Muslim. Nama-nama semacam itu tidak hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri makanan.

Baca Juga:
Mendahulukan Dakwah Pemikiran: Fondasi Transformasi dalam Fiqih Prioritas

Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa fatwa ini terlalu mengatur wilayah yang seharusnya menjadi ranah kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dalam dunia pemasaran, nama produk sering kali menjadi strategi utama untuk menarik perhatian konsumen. Nama-nama yang unik dan kontroversial dianggap mampu menciptakan kesan mendalam, yang pada akhirnya meningkatkan penjualan. Di era digital ini, di mana persaingan bisnis sangat ketat, banyak pelaku usaha merasa bahwa pembatasan semacam ini bisa menghambat inovasi.

Kritik lain yang muncul adalah soal implementasi dan pengawasan fatwa tersebut. Banyak yang mempertanyakan bagaimana cara memastikan pelaku usaha mematuhi aturan ini, terutama ketika produk makanan tidak hanya dijual di pasar tradisional, tetapi juga di e-commerce dan media sosial. Selain itu, tidak semua pelaku usaha memahami atau menyadari bahwa nama produknya mengandung unsur yang dianggap haram. Ketidaktahuan ini dapat menimbulkan konflik antara pelaku usaha dengan pihak berwenang, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi.

Baca Juga:
Mendahulukan Dakwah Pemikiran: Fondasi Transformasi dalam Fiqih Prioritas

Meski demikian, penting untuk memahami bahwa fatwa ini bukan sekadar bentuk pembatasan, melainkan upaya untuk menjaga keadilan dan keharmonisan dalam masyarakat yang mayoritas Muslim. Dalam perspektif hukum Islam, setiap tindakan memiliki konsekuensi moral dan sosial. Nama-nama yang haram dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap tanggung jawab moral pelaku usaha untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas kepada konsumen. Oleh karena itu, fatwa ini bisa menjadi panduan etis bagi pelaku usaha untuk lebih berhati-hati dalam menentukan identitas produknya.

Selain itu, kerja sama lintas sektor menjadi kunci keberhasilan fatwa ini. Industri makanan dan minuman dapat diajak berdialog untuk memahami pentingnya menjaga nilai-nilai keislaman tanpa mengorbankan kreativitas. Misalnya, pelaku usaha dapat diarahkan untuk menggunakan nama-nama yang menarik tetapi tetap etis, seperti menggunakan istilah lokal atau nama yang memiliki makna positif. Upaya ini tidak hanya mencegah penggunaan nama haram, tetapi juga mempromosikan kearifan lokal yang kaya akan nilai budaya.

Baca Juga:
Transformasi Zakat sebagai Solusi Sosial di Era Pandemi Kemarin

Namun, agar fatwa ini benar-benar efektif, pendekatan yang inklusif dan dialogis sangat diperlukan. Lembaga keagamaan harus bekerja sama dengan pelaku usaha untuk menemukan solusi yang tidak hanya memenuhi aspek syariat, tetapi juga mendukung inovasi dan kreativitas. Pemerintah juga perlu menyediakan regulasi yang jelas dan mendukung penerapan fatwa ini, misalnya melalui sertifikasi halal yang lebih mudah diakses dan transparan.

Dengan demikian, fatwa tentang pelarangan nama haram pada produk makanan bukanlah penghambat kreativitas, melainkan panduan untuk menciptakan produk yang tidak hanya menarik, tetapi juga bermakna dan bertanggung jawab. Dalam era di mana etika sering kali menjadi isu penting dalam bisnis, fatwa ini memberikan kerangka kerja yang dapat membantu pelaku usaha untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga menghormati nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat luas. Dengan pendekatan yang komprehensif, fatwa ini dapat menjadi langkah nyata untuk menciptakan masyarakat yang lebih berintegritas dan harmonis di tengah tantangan zaman.

Baca Juga:
Transformasi Zakat sebagai Solusi Sosial di Era Pandemi Kemarin

Rahmat Satya Budiman, Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok

Penulis: Rahmat Satya BudimanEditor: herman subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *