Transformasi Zakat sebagai Solusi Sosial di Era Pandemi Kemarin

Foto : Rahmat Satya Budiman Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok
Foto : Rahmat Satya Budiman Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok

Di tengah pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia, muncul banyak pertanyaan tentang bagaimana agama dapat memberikan kontribusi nyata dalam merespons krisis ini. Salah satu isu yang mencuat adalah penggunaan harta zakat, infak, dan sedekah (ZIS) untuk penanggulangan wabah. Dalam konteks ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan pemanfaatan harta ZIS untuk membantu meringankan dampak pandemi. Fatwa ini tidak hanya menjadi panduan bagi umat Islam, tetapi juga mencerminkan fleksibilitas syariat dalam menghadapi situasi darurat. Fatwa DSN-MUI tersebut menegaskan bahwa pandemi adalah kondisi darurat yang memerlukan penyesuaian dalam pengelolaan harta ZIS. Pada masa normal, zakat memiliki asnaf tertentu yang ditentukan dalam Al-Qur’an, seperti fakir, miskin, amil, dan lainnya. Namun, dalam keadaan darurat, alokasi dana ini dapat diarahkan untuk kebutuhan mendesak yang tidak terduga, seperti penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, bantuan sembako bagi masyarakat terdampak, hingga dukungan bagi sektor kesehatan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa syariat Islam memiliki fleksibilitas dan sensitivitas terhadap realitas sosial.

Namun, fatwa ini juga menuai beragam opini dari berbagai kalangan. Sebagian pihak memuji langkah ini sebagai bentuk nyata dari nilai keadilan dan keberpihakan Islam terhadap kemanusiaan. Mereka berpendapat bahwa fatwa ini adalah bukti bahwa agama tidak hanya berbicara tentang aturan-aturan normatif, tetapi juga dapat hadir sebagai solusi praktis dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam situasi pandemi, di mana banyak orang kehilangan pekerjaan dan akses terhadap kebutuhan dasar menjadi sulit, pemanfaatan dana ZIS dianggap sangat relevan dan mendesak.

Di sisi lain, ada pula yang menyuarakan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan dana ZIS jika tidak dikelola dengan benar. Mereka menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pendistribusian dana tersebut. Fatwa DSN-MUI memang memberikan landasan hukum, tetapi pelaksanaannya tetap bergantung pada integritas lembaga pengelola zakat. Dalam situasi darurat, godaan untuk mengambil jalan pintas atau mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan yang amanah bisa saja muncul. Jika kita merefleksikan fatwa ini dalam konteks sekarang, di mana pandemi telah mereda tetapi dampaknya masih terasa, relevansi fatwa tersebut masih kuat. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi. Penggunaan harta ZIS untuk mendukung pemulihan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan atau bantuan modal usaha kecil, dapat menjadi salah satu langkah strategis. Hal ini sejalan dengan semangat zakat yang tidak hanya bersifat karitatif tetapi juga transformasional.

Dalam pandangan penulis, fatwa ini juga mengingatkan kita pada pentingnya memaknai zakat sebagai instrumen pemberdayaan umat, bukan sekadar ritual tahunan. Pandemi Covid-19 menjadi momen bagi umat Islam untuk melihat zakat sebagai bagian dari solusi sistemik terhadap kemiskinan dan ketimpangan. Fatwa DSN-MUI adalah panggilan untuk memperkuat solidaritas sosial, menggerakkan semangat gotong royong, dan menghadirkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Namun, tantangan ke depan tidaklah mudah. Pandemi telah membuka mata kita pada kompleksitas masalah sosial yang ada, mulai dari ketimpangan ekonomi hingga lemahnya sistem kesehatan. Di sinilah diperlukan kolaborasi antara lembaga zakat, pemerintah, dan masyarakat luas. Fatwa DSN-MUI adalah langkah awal yang baik, tetapi keberlanjutannya bergantung pada bagaimana kita mengimplementasikannya secara konsisten dan penuh tanggung jawab.

Fatwa DSN-MUI juga menggarisbawahi pentingnya inovasi dalam pengelolaan zakat. Dengan kemajuan teknologi, pengumpulan dan distribusi dana ZIS dapat dilakukan secara lebih efisien dan transparan. Platform digital, misalnya, dapat menjadi solusi untuk memperluas jangkauan zakat, sehingga masyarakat di daerah terpencil pun dapat merasakan manfaatnya. Inovasi ini juga membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat, karena transparansi dan akuntabilitas dapat dengan mudah dipantau melalui sistem digital.

Pada akhirnya, fatwa DSN-MUI tentang pemanfaatan harta ZIS untuk penanggulangan wabah adalah sebuah tonggak penting dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Fatwa ini tidak hanya memberikan panduan hukum, tetapi juga menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk lebih proaktif dalam menghadapi tantangan zaman. Pandemi mungkin telah berlalu, tetapi semangat yang terkandung dalam fatwa ini harus terus hidup, menjadi pendorong bagi kita semua untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat.

Rahmat Satya Budiman, Mahasiswa Kampus STEI SEBI Depok

Penulis: Rahmat Satya BudimanEditor: herman subagio
Exit mobile version