Dengan melakukan hal itu diharapkan dapat mempermulus proses langkah mereka untuk mendemokratisasikan Jepang.
Sementara itu, sejumlah sejarawan memaknai keputusan Jenderal McArthur itu sebagai sebuah usaha untuk melunturkan pengaruh kekaisaran dan kaisar Jepang, mengingat Shintoisme merupakan kepercayaan tradisional yang dilestarikan lewat sistem monarki Nippon sejak masa kuno.
Bahkan, salah satu doktrin Shintoisme menganggap Kaisar Jepang (Hirohito pada era Perang Dunia II) sebagai jelmaan dewa serta memiliki status ke-ilahi-an.
Oleh karena itu ketika Shintoisme diakhiri, Sekutu berharap agar warga Jepang tak lagi menganggap sang kaisar sebagai jelmaan dewa.
Dan ketika kekuasaan sang kaisar luntur, warga Nippon tak lagi harus secara ‘mentah-mentah’ mematuhi perintahnya, seperti misalnya kebijakan untuk melakukan konflik bersenjata semesta seperti pada Perang Dunia II.
Keputusan Jenderal McArthur itu tak hanya dipandang sebagai langkah melucuti status Shintoisme sebagai agama resmi negara. Namun, juga dipandang sebagai upaya untuk melakukan sekulerisasi terhadap Jepang, dengan memisahkan agama dari sistem pemerintahan.
“Demi mencegah kambuhnya penyimpangan ajaran dan doktrin Shintoisme menjadi sebuah propaganda militeristik dan ultra-nasionalistik yang dirancang untuk menipu orang-orang Jepang dan membawa mereka ke dalam perang agresi,” dikutip dalam suatu tulisan pada pakta Directive for the Disestablishment of State Shinto, 1945.
Meskipun Shintoisme bukan lagi agama resmi negara jepang, ternyata masih banyak orang Jepang yang menganggapnya sebagai agama nasional.
Namun demikian, ajaran Shintoisme pasca Perang Dunia II sangatlah berbeda dengan versi sebelum diakhiri oleh Jenderal McArthur, yang sebelumnya telah dibersihkan dari unsur-unsur politik, nasionalistik dan militeristik seperti yang banyak terkandung dalam doktrin kepercayaan tradisional Nippon itu.