Oleh: Sugianto, S.H., M.Hum Praktisi Hukum – GIANT Law Firm
Kabupaten Trenggalek dikenal dengan alamnya yang indah dan budaya masyarakatnya yang bersahaja.
Namun di balik ketenangan itu, diam-diam tersimpan persoalan serius: indikasi penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat, minimnya transparansi pemerintahan, hingga pembiaran terhadap praktik-praktik merugikan rakyat.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah ketidakhadiran kontrol sosial yang efektif. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal keadilan, justru banyak yang terkesan tidur dan membisu. Lubang Tambang dan Lubang Hukum salah satu kasus nyata yang menggambarkan kelalaian penguasa adalah tragedi tenggelamnya korban di lubang bekas tambang di Desa Ngentrong, Kecamatan Trenggalek.
Lubang menganga tanpa pengamanan itu sejatinya adalah hasil dari aktivitas pertambangan yang tidak dilakukan sesuai prosedur keselamatan dan lingkungan. Dinas PKPLH, yang seharusnya menjadi pengawas utama, tidak menunjukkan tindakan tegas. Alih-alih melakukan penutupan atau reklamasi, mereka justru diam.
Ini bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan melalui pembiaran. Pasal 93 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas menyebutkan bahwa pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban pengawasan dan menyebabkan kerugian lingkungan atau masyarakat, dapat dipidana.
Namun hingga kini, tidak ada proses hukum yang menyentuh aktor-aktor pengawas. Perda LP2B: Regulasi yang Bisa Dijadikan Alat Pembenaran Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek No. 2 Tahun 2016 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) seharusnya menjadi benteng perlindungan terhadap alih fungsi lahan produktif.
Namun, dalam praktiknya, perda ini justru bisa dijadikan dalih hukum untuk kepentingan proyek non-pertanian, termasuk tambang. Jika regulasi ini dibuat atau disusun tanpa melibatkan masyarakat secara bermakna (meaningful participation), maka ini bukan hanya pelanggaran prosedur administratif, tetapi juga bentuk penyalahgunaan kekuasaan melalui rekayasa kebijakan publik.
Diamnya LSM: Pengkhianatan terhadap Fungsi Sosial Lebih menyedihkan lagi, semua ini berlangsung di tengah lemahnya suara kontrol sosial. LSM-LSM di Trenggalek sebagian besar terkesan diam dan pasif.
Tidak ada investigasi, tidak ada laporan terbuka, tidak ada desakan kepada pemda untuk bertanggung jawab. Padahal, dalam prinsip good governance, masyarakat sipil memegang peranan vital sebagai watchdog atau anjing penjaga demokrasi.
Mengapa LSM bungkam? Ada beberapa kemungkinan: takut tekanan kekuasaan, sudah terserap dalam jejaring proyek pemerintah, atau kehilangan semangat idealisme.
Apapun alasannya, pembiaran terhadap ketimpangan dan pelanggaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap fungsi sosial LSM.
Kebutuhan Mendesak: Kesadaran Kritis dan Keberanian Moral Trenggalek tidak membutuhkan LSM yang hanya sekadar ada di atas kertas, atau aktivis yang sibuk mencari program tanpa arah.
Yang dibutuhkan adalah keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran, meski tidak populer. Dibutuhkan kesadaran hukum dan politik yang tajam agar publik tidak terus-menerus dijadikan korban atas nama pembangunan.
Sudah waktunya masyarakat sipil bangkit. Sudah waktunya hukum berbicara, bukan dibungkam. Dan sudah waktunya penguasa mempertanggungjawabkan kekuasaan yang diamanahkan, bukan disalahgunakan untuk kepentingan sesaat.
Penutup sebagai praktisi hukum, saya percaya bahwa keadilan tidak akan hadir dari langit tanpa diperjuangkan. Dan perjuangan itu harus dilakukan bersama: oleh masyarakat, oleh aktivis, oleh pers, dan oleh penegak hukum yang berintegritas.
Jika semua memilih diam, maka penyalahgunaan kekuasaan akan menjadi norma baru. Dan saat itu terjadi, maka yang hancur bukan hanya hukum, tapi juga masa depan Trenggalek.