Jakarta, Kanaltujuh.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah mengkaji laporan terkait dugaan korupsi yang melibatkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah.
Pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menyatakan bahwa apabila KPK memiliki cukup bukti, lembaga tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memperoleh izin dalam memeriksa bawahannya, Febrie Adriansyah.
Ia pun berharap agar Jaksa Agung bersedia bekerja sama dengan KPK dalam menjalankan proses tersebut.
“Kalau memang alat buktinya sudah cukup, tidak ada alasan untuk tidak menandatangani,” ujar Hudi kepada wartawan, Senin (10/02/2025).
Hudi menekankan pentingnya agar Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak terlihat menghalangi jalannya proses hukum. Oleh karena itu, ia menilai permohonan izin dari KPK perlu segera disetujui.
“Di-approved, ditandatangani, jangan dilama-lamakan. Kenapa harus lama, apa alasannya? Kalau tidak ditandatangani, ya harus segera ditandatangani,” ujarnya.
Hudi menambahkan bahwa jika Pasal 8 Ayat 5 Undang-Undang Kejaksaan menghambat KPK dalam memeriksa Febrie akibat persyaratan izin dari Jaksa Agung, maka ketentuan tersebut perlu direvisi.
Pasal tersebut menetapkan bahwa penyidik hanya dapat melakukan tindakan paksa terhadap jaksa yang terlibat masalah setelah memperoleh izin dari Jaksa Agung.
“Kalau dianggap itu dapat merintangi proses, ya memang harus diubah. Semua instansi punya aturan, apalagi dalam tindak pidana minimal ada kecukupan alat bukti,” ujarnya.
KPK sebelumnya menyatakan bahwa mereka masih mengumpulkan bukti terkait laporan terhadap Febrie Adriansyah. Setelah bukti mencukupi, lembaga antikorupsi tersebut akan memulai penyelidikan.
“Secara umum seluruh laporan yang masuk tentunya akan diverifikasi. Akan ditelaahkan. Akan dilakukan pulbaket (pengumpulan bahan keterangan). Dan bila dianggap sudah memenuhi syarat untuk dinaikan ke penyelidikan,” terang Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (04/02/2025).
Tessa menyatakan bahwa KPK tetap menindaklanjuti laporan tersebut. Jika bukti yang tersedia masih kurang, pelapor akan dipanggil kembali untuk memberikan tambahan bukti.
“Dan bila ada persyaratan yang masih kurang akan dimintakan kepada pihak pelapor untuk memenuhi,” ujar Tessa.
Pada 27 Mei 2024, Indonesian Police Watch (IPW) bersama beberapa organisasi non-pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anti Korupsi (KSST) mengajukan laporan dugaan korupsi yang mencantumkan nama Jampidsus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Febrie Adriansyah turut terdampak karena KSST menilai terdapat kejanggalan dalam proses pelelangan barang rampasan, yaitu satu paket saham milik PT Gunung Bara Utama (PT GBU) yang berada di lingkungan Kejaksaan Agung.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa nilai saham perusahaan batu bara di Kalimantan tersebut seharusnya mencapai Rp12 triliun.
Saham tersebut terjual hanya dengan nilai Rp1,945 triliun, yang diduga mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp7 triliun.
Ali Fikri, Kepala Bagian Pemberitaan KPK waktu itu, menyampaikan bahwa setelah menerima laporan, lembaga antirasuah tersebut langsung melakukan verifikasi dan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak pelapor untuk menentukan langkah selanjutnya.
Sementara itu, Ketut Sumedana, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, menyatakan bahwa laporan KSST mengenai Febrie Adriansyah yang diajukan ke KPK adalah keliru.
Di sisi lain, meskipun demikian, Sugeng Teguh Santoso yakin bahwa bukti yang ia miliki dapat dipertanggungjawabkan dan menekankan bahwa tidak ada proses lelang yang dilaksanakan oleh Jampidsus.
“Kami memiliki bukti dan alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memasukan nama Jampidsus Febrie Adriansyah sebagai salah seorang yang dilaporkan ke KPK,” ujarnya.