Jakarta, Kanaltujuh.com –
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Eddy Hartono mengatakan lembaganya bersama komunitas intelijen dan aparat penegakan hukum terus mewaspadai potensi dampak kemenangan Taliban di Afghanistan terhadap kelompok radikal dan teroris di Indonesia. Eddy mengatakan potensi risiko atas kemenangan Taliban itu tak boleh diremehkan.
“BNPT beserta kementerian lembaga terkait khususnya aparat intelijen dan aparat penegakan hukum melakukan kewaspadaan, jadi tidak boleh underestimate,” kata Eddy dilansir dari Tempo.co, Minggu, (22/8).
Eddy mengatakan berkuasanya Taliban adalah masalah dalam negeri Afghanistan. Di sisi lain, kata dia, ada kekhawatiran bahwa jaringan teroris di Indonesia membingkai kemenangan Taliban di Afghanistan sebagai keberhasilan melawan hegemoni barat.
Eddy mengatakan framing itulah yang ditiru oleh sejumlah kelompok di Indonesia untuk mencari simpatisan dan menggalang kekuatan.
Ia pun menyebut kelompok-kelompok teroris di Indonesia, terutama Jamaah Islamiyah, memiliki pola rekrutmen yang rapi dan terstruktur serta pendanaan yang kuat.
“Ini yang sangat berbahaya ketika framing Taliban itu di-copy paste perjuangan itu. Mereka bisa berjuang mengambil alih, tujuannya mendirikan negara khilafah kan, itu yang harus kita waspadai,” kata Eddy.
Eddy mengakui banyak yang berpendapat agar tak usah terlalu khawatir dengan dampak kemenangan Taliban terhadap kelompok radikal di Indonesia. Taliban disebut sudah berubah menjadi lebih moderat. Mereka pun mengklaim tak akan berhubungan lagi dengan jaringan teror.
Namun menurut Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT ini, Taliban melakukan hal tersebut demi kepentingan politik mereka mengambil alih Afghanistan dan membentuk pemerintahan baru sesuai keinginan mereka.
“Kegiatan ini yang jangan sampai di-copy paste kelompok radikal terorisme untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia untuk menjadikan negara selain (berdasarkan) Pancasila,” kata Eddy.
Eddy mengatakan BNPT terus berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI AD, Detasemen Khusus 88 Antiteror, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Salah satu antisipasi yang dilakukan ialah pemantauan konten-konten berbau radikal di media sosial.
Selain itu, lanjut Eddy, Densus 88 juga melakukan penangkapan terhadap terduga teroris. Ia menyebut ada 51 orang terduga teroris yang ditangkap Densus beberapa waktu lalu, 48 di antaranya merupakan anggota JI.
“Jangan sampai simpatisan terpengaruh framing yang dibangun oleh jaringan teror ini dengan merujuk Taliban sana. Walaupun tidak ada hubungannya dengan Taliban, tapi framing-nya itu dijadikan copy,” kata Eddy.
Senada dengan Eddy, juru bicara Badan Intelijen Negara Wawan Purwanto mengatakan lembaganya melakukan pemetaan, deteksi dini, dan pencegahan terhadap potensi reaksi kelompok teroris di Indonesia setelah Taliban berkuasa.
Wawan mengatakan beberapa mantan teroris di Indonesia memang pernah mendapatkan pelatihan dan ikut berjuang di Afghanistan.
Meski begitu, ia mengatakan masyarakat tak perlu khawatir berlebihan atas hal ini.
“Tidak perlu over reaktif. Namun demikian, kewaspadaan perlu terus kita bangun bersama,” jelas Wawan.