Mantan Jenderal Polisi Teddy Minahasa Divonis Hukuman Mati, Ini Penjelasan Pakar Hukum

Mantan Jenderal Polisi Teddy Minahasa Divonis Hukuman Mati, Ini Penjelasan Pakar Hukum
Terdakwa kasus peredaran narkoba jenis sabu Teddy Minahasa/Foto: Istimewa

Jakarta, Kanaltujuh.com –

Terdakwa kasus peredaran narkoba jenis sabu Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh Jaksa penuntut umum atau JPU. Eks Kapolda Sumatra Barat atau Sumbar itu disebut telah mengkhianati perintah Presiden.

“Perbuatan terdakwa sebagai Kapolda telah mengkhianati perintah Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan peredaran gelap narkotika,” kata salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis 30 Maret 2023 dikutip dari tempo.co.

Sementara itu, Majelis Hakim mengungkapkan akan mengebut persidangan perkara Teddy Minahasa. Perkara tersebut ditargetkan rampung di Pengadilan Negeri Jakarta Barat awal Mei 2023. Jika vonis tuntutan JPU dikabulkan Majelis Hakim, Teddy Minahasa bakal jadi petinggi kepolisian yang dihukum mati setelah Ferdy Sambo.

Teddy didakwa memerintahkan eks Kapolres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara untuk menyisihkan 5 kilogram sabu dari total 41,4 sabu hasil pengungkapan kasus oleh Polres Bukittinggi. Sabu tersebut ditukar dengan tawas.

Teddy Minahasa dianggap melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dari pasal itu, jaksa menilai Teddy harus dikenakan hukuman maksimal.

Tuntutan hukuman mati Teddy Minahasa kembali menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat. Para pakar hukum pidana dari berbagai universitas juga memiliki argumennya soal tuntutan hukuman mati Teddy Minahasa.

Pakar Hukum Universitas Trisakti: Tuntutan Hukuman Mati Sudah Tepat
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, mengatakan tuntutan hukuman mati untuk Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra dalam kasus peredaran narkoba sudah tepat. Menurut dia, itu sebagai pembelajaran untuk semua orang apalagi Teddy merupakan aparat kepolisian yang seharusnya memberantas peredaran narkotika.

“Secara filosofis ini dampaknya kejahatan serius,” ujar Asep saat dihubungi, Sabtu, 1 April 2023.

Menurut Asep, masyarakat tidak ingin berkompromi dengan pelaku kasus narkotika.

“Sekarang hampir seluruh masyarakat Indonesia kalau narkoba gak ada kompromi, hukumannya maksimal, terlepas pro kontra hukuman mati,” kata mantan hakim itu.

Ditambah lagi keterangan saksi-saksi dan bukti memiliki kesesuaian dan mengarah pada keterlibatan Teddy Minahasa. Meskipun sejak awal tim pengacara meragukan kebenaran keterlibatan kliennya.

Teddy sempat mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa dan menganggap sebenarnya batal demi hukum. Namun, majelis hakim menolak dan memutuskan perkara tetap dilanjutkan.

Asep Iriawan menuturkan jika tim pengacara mengajukan pleidoi yang mengungkit soal surat dakwaan batal demi hukum lagi, maka itu sudah tidak tepat. Fokusnya pun mesti kepada pembuktian dakwaan.

“Kalau putusan akhir itu katakanlah dakwaannya enggak bener, bukan batal demi hukum. Tuntutan tidak dapat diterima,” tutur Asep.

Namun, dia berkeyakinan nantinya pertimbangan hakim dalam pembuktian sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga, hukuman mati sebagai kepastian hukum untuk perkara Teddy Minahasa walau masih ada perdebatan soal pidananya.

Pakar Hukum UI: Tuntutan Hukuman Mati Teddy Berlebihan
Berbeda dengan Asep Iriawan, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul tidak setuju tuntutan hukuman mati terhadap Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra berlebihan. Menurutnya perwira tinggi Polri itu bukan produsen, importir, sindikat atau bagian dari sindikat narkotika.

“Kalau bebas saya gak setuju bebas. Ya dia harus dihukum, jangan dihukum hukuman mati. Itu aja yang saya gak setuju,” ujar Chudry saat dihubungi, Sabtu, 1 April 2023.

Dia memandang Teddy Minahasa tidak perlu dibebaskan. Fakta persidangan yang terungkap karena terlihat adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan, apalagi Teddy sebagai mantan Kapolda Sumatera Barat.

Hukuman mati juga masih menjadi pro kontra di Indonesia karena berkenaan dengan konsep Hak Asasi Manusia. Walaupun dari pasal yang didakwaan ada ancaman hukuman maksimal pidana mati.

“Kalau dituntut seumur hidup oke. Misalnya dituntut 20 tahun nanti diputus 12 tahun, mungkin efek jeranya gak ada,” kata Chudry.

Dia juga menyoroti pembuktian selama pemeriksaan saksi dan terdakwa sebelumnya. Menurut dia ada celah yang bahwa Teddy Minahasa bisa saja dibebaskan.

Itu adalah proses pembuktian berbagai hal, terutama pemeriksaan digital forensik. Persoalan ini juga selalu dikritisi oleh Hotman Paris Hutapea selaku pengacara Teddy, seperti proses digital forensik yang dianggap tidak sesuai prosedur.

Menurutnya, pemeriksaan sesuatu yang memiliki prosedur resmi hukum harus dijalani sepenuhnya. Alasannya tetap harus melihat keadilan bagi seorang terdakwa.

“Karena tidak memenuhi yang dimaksud dengan proses peradilan, tidak adil, tidak memenuhi, tidak ada peraturan yang mendasarinya dan/atau tidak memenuhi seluruh syarat yang diminta oleh peraturan itu,” tutur Chudry Sitompul.

Untuk mempersoalkan itu, kata Chudry, tim pengacara Teddy bisa mempersoalkan lagi dalam penyampaian pleidoi. Kemudian tergantung pada upaya pembuktian yang bisa disampaikan nanti.

Pada akhirnya juga tergantung dari keyakinan hakim untuk memberi vonis. Keyakinan itu pun mesti berdasarkan pada bukti yang ada.

“Hakim harus memutuskan berdasarkan keyakinan, tapi keyakinan hakim itu harus didukung minimal dua alat bukti,” ujar Chudry.

Exit mobile version